Cell
Perilaku agresi, kekerasan, atau pelecehan sungguh tidak populer di tengah masyarakat yang semakin beradab dan menghargai martabat manusia. Namun, jika banyak suami melakukannya terhadap istri, apa penyebabnya? Bagaimana dampaknya bagi para istri?

Dengan berkembangnya pemahaman akan hakikat dan martabat manusia melalui agama, filsafat, dan ilmu-ilmu perilaku (psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah, kedokteran, dan ekonomi) dan norma perilaku etis yang universal, mestinya kita semakin jauh dari perilaku primitif yang sekadar mendasarkan diri pada dorongan instingtif dan kebutuhan yang egoistis.

Namun, harmoni dalam hubungan antarmanusia tidak berkembang secara linier mengiringi perkembangan peradaban. Tidak otomatis orang semakin dapat menghargai martabat individu lain seiring perkembangan peradaban manusia. Fakta menunjukkan bahwa agresi, kekerasan, atau pelecehan terhadap individu lain masih terus terjadi, bahkan antarorang terdekat di dalam rumah tangga.

Kecenderungan umum? Hal yang cukup memprihatinkan, kekerasan tidak terbatas di kalangan kurang terdidik, tetapi juga terjadi di kalangan yang berpendidikan tinggi. Meski cukup banyak wanita berpendidikan tinggi dan berkarier sambil menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga, cukup banyak di antaranya yang masih mengalami pelecehan oleh suami.

Salah satu bentuk pelecehan yang sering dilakukan suami adalah perintah disertai kata-kata kasar yang diucapkan ”tanpa perasaan”, ibarat seorang majikan kepada budak miliknya. Di sini, bukan kekerasan fisik yang terjadi, melainkan perlakuan dan ucapan yang semena-mena.

Seorang ibu rumah tangga (usia menjelang 80 tahun), tampak sehat secara fisik, mengalami gejala depresi karena sering mengalami kekerasan verbal dan pelecehan emosional sepanjang perkawinannya yang telah berlangsung 60 tahun. Ibu yang masih gemar membaca ini meski masih runtut dalam bertutur kata, sorot matanya tampak layu. Telah tiga bulan ia menderita pusing-pusing sejak peristiwa kekerasan verbal yang dialaminya seusai merayakan 60 tahun perkawinan.

Hampir 30 tahun terakhir ini, karena alasan kesehatan, secara geografis ia dipisahkan dari suaminya oleh anak-anaknya sendiri. Pasangan lansia ini hanya sesekali bertemu. Suaminya (mantan saudagar) bukanlah orang jahat, bukan pula orang yang telah berselingkuh dengan wanita lain. Namun, istrinya menderita semata-mata karena sifatnya yang keras dan sangat kasar kepada istri, anak-anak, dan orang lain.

Ibu yang lemah lembut ini merasa telah ”diinjak-injak” oleh suaminya sejak awal perkawinan. Meski ia telah melakukan tugasnya sebagai istri dengan baik, mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak hingga semua berhasil, sangat dihormati dan disayang oleh orang lain, ia merasa sangat tidak berharga di mata suaminya.

Apa yang dialami oleh ibu di atas banyak juga diderita ibu lain yang lebih muda, meski dalam detail cerita yang berbeda-beda. Mereka tidak mengalami kekerasan fisik, memiliki pendidikan tinggi, memiliki konsep diri positif. Namun, toh banyak dari mereka yang menyimpan kisah kekerasan verbal atau pelecehan emosional oleh pasangan sendiri. Untunglah sebagian dari mereka mampu bertahan, bahkan ambil bagian dalam usaha menyehatkan emosi suaminya.

Tentu hal ini tidak menafikan bahwa ada juga kejadian-kejadian sebaliknya, yakni suami yang mengalami pelecehan atau kekerasan oleh istrinya sendiri.

Pelecehan emosional secara umum Suami yang bertindak melecehkan istri sering kurang menyadari tindakannya sebagai pelecehan. Pelecehan/kekerasan emosional biasanya lebih sulit dilihat dan dikenali daripada kekerasan fisik sehingga rentan terjadi berulang kali dan muncul dalam berbagai bentuk tanpa disadari. Pelecehan emosional mengikuti suatu pola: diulang-ulang dan berkesinambungan.

Pelecehan emosional, seperti bentuk kekerasan lainnya, merupakan kecenderungan yang ada dalam diri seseorang. Biasanya ini berkembang karena lingkungan sosial yang tanpa disadari membentuknya demikian, terutama pola asuh orangtua yang diwarnai kekerasan.

Seperti berbagai bentuk pelecehan dalam hubungan, mereka yang paling lemah dalam kekuasaan dan sumber daya dalam masyarakat adalah yang paling sering mengalami pelecehan emosional.

Tidak ada definisi universal yang disepakati mengenai pelecehan emosional. Seperti halnya berbagai bentuk pelecehan dalam relasi sosial, pelecehan emosional (emotional abuse) didasarkan pada kekuasaan dan kontrol.

Berikut adalah bentuk-bentuk pelecehan atau kekerasan emosional yang dikenal secara luas:

- Penolakan Menolak mengenal/menghargai orang yang hadir, menolak berkomunikasi, mendevaluasi pikiran dan perasaannya. - Menghina Perilaku yang merendahkan identitas, martabat, dan harga diri seseorang. Contoh: berteriak, menyumpahi, merendahkan di depan umum atau menyebut si bodoh, mengejek ketidakmampuan seseorang, dsb. - Meneror Melakukan teror atau membuat ketakutan berlebihan atas seseorang, melakukan intimidasi, menempatkan atau mengancam menempatkan seseorang di tempat yang tidak sesuai atau berbahaya. Contoh: memaksa seorang anak untuk melihat tindak kekerasan terhadap anggota keluarga atau binatang peliharaan, mengancam meninggalkan/melukai secara fisik/membunuh seseorang/binatang kesayangan, mengancam akan merusak milik orang lain, mengancam mendeportasi seseorang atau memasukkannya ke dalam institusi (yang tidak diinginkan).

- Mengisolasi Pembatasan secara fisik, membatasi kontak yang normal dengan orang lain, membatasi kebebasan seseorang di dalam lingkungan sendiri. Contoh: melarang orang dewasa mengambil keputusan mengenai hidupnya sendiri, mengunci anak di toilet, menolak pasangan mengakses uang dalam urusan finansial, membatasi kontak dengan cucu, mengurangi dukungan untuk mobilitas atau transportasi.

- Mengorupsi/mengeksploitasi Mensosialisasikan seseorang dalam gagasan atau perilaku yang berlawanan dengan standar hukum, menggunakan seseorang untuk keuntungan pribadi, melatih anak untuk memuaskan minat pelaku. Contoh: pelecehan seksual terhadap anak, membolehkan anak minum alkohol & obat-obatan, atau menonton pornografi, memikat seseorang untuk perdagangan seks.

- Mengingkari tanggung jawab emosional Kegagalan untuk memberikan perawatan secara peka dan bertanggung jawab, hubungan yang jauh dan tidak adanya keterlibatan, interaksi hanya bila diperlukan, mengabaikan kebutuhan akan kesehatan mental seseorang. Contoh: mengabaikan seorang anak yang ingin berinteraksi, kegagalan menunjukkan afeksi, perhatian, dan cinta terhadap anak.

Dampak terhadap pasangan & anak Berbagai dampak pelecehan emosional perlu kita pikirkan. Bagaimanapun, pelecehan emosional mendukung pelecehan lainnya. Contohnya, pelecehan emosional oleh pasangan menyokong terjadinya kekerasan verbal maupun fisik.

Tidak ada kekerasan/pelecehan yang terjadi tanpa efek psikologis. Semua bentuk pelecehan memuat elemen pelecehan secara emosional dan menimbulkan gangguan psikologis. Pelecehan emosional juga dapat melukai rasa harga diri dan konsep diri seseorang.

Pada anak, kekerasan/pelecehan emosional sering diterapkan dalam upaya menegakkan disiplin, yang memiliki efek negatif menghambat perkembangan psikologis anak mencakup masalah: inteligensia, memori, rekognisi, persepsi, perhatian, imajinasi, dan perkembangan moral. Selain itu, dapat memengaruhi perkembangan sosial anak dan menghambat kemampuan mereka untuk mempersepsi, merasakan, memahami, dan mengekspresikan emosinya.

Demikianlah, pelecehan emosional merupakan fenomena yang masih jarang menjadi sorotan publik. Namun, prevalensi kejadiannya cukup besar dan memiliki dampak psikologis yang sama-sama menyakitkan seperti halnya bentuk kekerasan verbal yang lain atau fisik. Semoga kita bukan salah satu dari pelaku ataupun korbannya! @

MM Nilam Widyarini MSi Kandidat Doktor Psikologi

INFORMASI BISNIS BAGI ANDA!